ORANG sering mengidentikkan Candi Sukuh di Karanganyar, dengan istilah candi porno atau candi erotis.

‘Ini wajar saja, sebab sejumlah relief yang terpahat di dinding atau bagian candi lain, tergambar vulgar, tak seperti relief pada lantai teras pertama Candi Sukuh, terpampang lingga saling berhadapan dengan Yoni dalam bentuk yang sebenarnya.

Lalu orang pun menghubungkan relief yang disebut-sebut sebagai lambang kesuburan ini dengan kepercayaan mistik. Tersebutlah kepercayaan, seorang wanita akan mengalami peristiwa memalukan seperti sobek ataupun lepas kain yang dikenakan, manakala melewati relief ini, jika ia memiliki perilaku kurang terpuji. Bahkan ada pula kepercayaan, seorang gadis yang tidak perawan lagi, dari kemaluannya akan meneteskan darah manakala melangkahi relief lingga dan yoni itu.

Benar atau tidak kepercayaan berbau mistik ini, yang jelas candi yang diperkirakan dibuat sekitar abad XV ini menjadi menarik manakala dikaitkan dengan misteri yang senantiasa menyelimutinya. Banyak relief di Candi Sukuh hingga sekarang tak terpecahkan kerahasiaannya. Termasuk pakar sejarah Dr. WF Stutterneim yang pernah meneliti candi Sukuh dan Candi Cetho, belum bisa mengungkap secara tuntas misteri candi yang satu ini. Belum lagi bila dipertemukan dengan pembuat candi tersebut.

Dari sisi fisik relief, sungguh berbeda dengan candi lain seperti Candi Borobudur atau Prambanan yang tertatah halus dan rapi. Relief yang terpahat di Candi Sukuh ini kasar, wagu, dan sederhana karenanya, bukan mustahil jika relief di Candi Sukuh ini dikerjakan masyarakat biasa, atau paling tidak bukan seniman pahat, bahkan barangkali dikerjakan orang-orang perpencil.

Begitu memasuki teras pertama Candi Sukuh, orang sudah dihadapkan pada tanda tanya besar. Betapa pada bagian ini terdapat gapura yang mirip dengan pylon sejenis gapura masuk ke piramida di Mesir. Dari sini pula pakar sejarah purbakala sering menghubungkan keberadaan gapura teras pertama Candi Sukuh tersebut dengan seni Mesir dan Meksiko, dengan menganalogkan fisik keduanya.

Lalu pada bagian lain terdapat pula relief yang menggambarkan arak-arakan seorang penunggang kuda dikawal puluhan prajurit bersenjata tombak, ada pula dua ekor badak, sepasang kerbau serta seseorang menunggang gajah. Relief ini pun hingga sekarang masih menjadi misteri.

Begitu unik dan penuh misteri, salah satu relief di Candi Sukuh beberapa tahun silam pernah diboyong ke Amerika Serikat dalam event pameran kebudayaan Indonesia-Amerika Serikat (Kias) selama satu tahun. Malah, dari Amerika Serikat, benda ini diboyong lagi ke Belanda untuk dipamerkan dalam event lain. Dialah, relief yang terpahat pada tiga bilah batu besar berbobot sekitar 12 ton.

Relief ini menggambarkan dewa Gajah Ganesha berdiri di atas satu kaki di sebuah besalen (tempat penempaan besi) sambil memegang ekor anjing. Lalu di bagian lain tergambar seseorang tengah mengerjakan hembusan api dan seseorang yang lain lagi menghadapi sebuah meja sambil mempertunjukkan hasil karya penempaan besi, seperti keris, tombak, cangkul, palu dan seni pahat besi yang lain.

Diperkirakan, orang-orang yang berada di besalen bersama Dewa Gajah Ganesha ini, adalah orang-orang keturunan raja, atau mungkin keturunan dewa. Dugaan ini dikaitkan dengan cerita wayang tentang kehidupan para dewa. Sayangnya, makna atas cerita wayang sesuai tergambar dalam relief tersebut, belum terungkap tuntas.

Candi di Jawa Tengah umumnya menghadap ke Timur. terkecuali candi Sukuh. Candi yang satu ini seperti halnya kebanyakan candi yang ada di Jawa Timur yakni menghadap Barat. Jadi untuk memasuki candi Sukuh, orang menuju ke arah Timur, tempat Matahari terbit. Padahal Matahari dipuja sejak jaman prehistori. Dengan begitu ada pengaruh asli dalam pembuatan candi Sukuh, berbeda dengan candi lainnya di Jawa Tengah yang banyak dipengaruhi India.

Itulah salah satu keunikan Sukuh yang selama ini banyak menarik perhatian wisatawan mancanegara. Wisatawan dalam negeri memang ada, tapi jumlahnya lebih kecil jika dibandingkan yang datang dari luar negeri, jelas seorang petugas. Berkunjung ke Sukuh memang mengasyikkan, udaranya sejuk. Candi ini berada di kaki gunung Lawu yang di sekitarnya ditumbuhi pohon pinus. Udara pegunungan tersebut membuat pengunjung betah untuk melihat fragmen-fragmen yang di antaranya menonjol kisah tentang ruwatan.

Kisah tentang ruwat dapat ditemukan lewat beberapa fragmen. Di sebelah Utara dekat pagar, misalnya, terdapat jajaran fragmen berelief kisah Sudamala. Bagian terpenting dari kakawin Sudamala ini adalah Batari Uma dikutuk Batara Guru menjadi Durga yang berparas jelek. Sadewa anak Pandu dan Madrim dikorbankan sebagai tumbal kepada Durga. Sadewa diikat pada sebuah pohon randu alas ditunggui Semar. Durga minta diruwat dan Sadewa berhasi meruwat dengan bantuan Batara Guru yang menyatu dengan dirinya. Kemudian sebagai rasa syukur Dewi Uma memberikan nama Sudamala pada Sadewa.

Masih ada lagi pahatan Garudeya yang juga mengkisahkan tentang ruwat. Kondisi fragmen ini berangsur terkikis oleh waktu. Dari fragmen Garudeya dapat ditarik pengertian sebuah pengabdian seorang anak kepada ibunya. Garudeya, seekor garuda anak Winata. Dari kisah ini Winata harus menjadi budak Kadru setelah mengalami kekalahan. Nasib naas winata bermula dari cangkriman tentang ekor kuda yang warnanya dapat berganti-ganti. Konon itu karena pekerjaan anak-anak Kadru.

Betul, setelah Garuda berhasil menghabisi anak-anak Kadru, maka ekor kuda kembali pada warna aslinya. Dan bebaslah Winata.

Jika dicermati, pada tugu obelish juga mengkisahkan ruwatan versi Mahabarata. Bima yang lahir dari rahim Kunthi dengan Pandu membuat gempar. Mengapa, karena putra kedua Pandu itu berujud bungkus yang sulit dibuka. Suasana kian hangat. Atas kejadian ini Betara Guru mengutus Gajahsena (Ganesya), putranya untuk memec*ahkan bungkus Bima. Usaha tersebut berhasil dan diberikannya pakaian khusus pada Bima yang kemudian diberi nama Bratasena.

Relief-relief yang ada di candi Sukuh di atas yang secara dominan memang merupakan kisah pewayangan. Karena tidak jelas dari versi Ramayana atau Mahabarata, maka banyak orang menyebutnya sebagai carangan yang khusus mengkupas berbagai ceritera tolak balak. Yang menarik perhatian, relief tidak mencerminkan sebuah agama secara tegas. Justru yang dominan unsur-unsur mistik. Dari sini muncul dugaan bahwa saat pembangunannya kepercayaan animisme masih cukup kuat, di samping mulai dipengaruhi agama Hindu.

Kalaupun Candi Sukuh hingga sekarang masih diliputi misteri, beleh jadi senafas dengan keberadaannya yang disebut-sebut se*bagai tempat pemujaan leluhur, bukan tempat pemujaan dewa sebagaimana fungsi candi pada umumnya. Sebagai tempat pemujaan leluhur lewat upacara mistis, suasana terselimuti dengan rahasia dan keajaiban. Bentuk-bentuk fisik relief yang kaku.***-m